Jumat, 25 November 2011

Pendidikan Seorang Muslim Harus Dimulai dari Al-Qur’an

"Orang-orang salaf pada zaman dulu, jika mempunyai anak, mereka mengajari anak-anak mereka dengan menghafal Al-Qur’an dan mendengarkan hadits. Jadilah iman anak-anak itu kokoh dan kuat. Akan tetapi, kini manusia tidak lagi demikian. Anak-anaknya banyaknya disibukkan dengan ilmu-ilmu orang kuno dan menjauhi hadits Rasulullah." (Imam Ibnu Al-Jauzy)
Keterangan:
Bila kita melihat adik-adik kecil kita yang masih bersekolah di TK sampai Sekolah Dasar, mereka disibukkan dengan pelajaran-pelajaran yang berbau Logis-Matematis-Linguistik. Mereka dituntut untuk pandai berhitung dan membaca. Seolah-olah keduanya menjadi kewajiban yang harus diraih terlebih dahulu agar sang anak memperoleh kesuksesan dan kebahagiaan di dunia. Karena sudah di mindset seperti ini, orangtua pun menyalahkan anaknya yang nilai Logis-Matematis-Linguistiknya jelek.

Mungkin akan ada yang bertanya, apakah tidak boleh mempelajari pelajaran Logis-Matematis-Linguistik? Tentu saja boleh. Hanya saja seharusnya orangtua lebih mengarahkan dan memprioritaskan anak-anak mereka dengan pelajaran-pelajaran dasar keimanan dan keislaman, seperti membaca dan menghafal Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Mengapa harus membaca dan menghafal Al-Qur’an dan Al-Hadits? Bila mempelajari Al-Qur’an dan Al-Hadits di saat kecil, kita akan lebih mudah menghafalnya dibanding ketika kita sudah dewasa dan tua. Karena masa anak-anak tidak disibukkan dengan mencari nafkah dan pekerjaan-pekerjaan berat lainnya seperti yang dilakukan orangtua mereka.

Kedua, Al-Qur’an adalah petunjuk hidup orang-orang beriman yang mengantarkannya kepada jalan keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Bila kita sudah mampu membaca dan menghafalnya, berarti kita sudah mampu melangkah pada tahap berikutnya, yaitu memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk untuk kita. Syaikh Muhammad Khair Ramadhan dalam bukunya “Petuah-Petuah Luqmanul Hakim” mengatakan bahwa salah satu pintu meraih hikmah adalah dengan menghafal Al-Qur’an. Karena hanya dengan menghafalnya, kita akan selalu diingatkan dengan apa yang kita hafal itu. Misalnya, ketika sehabis shalat kemudian ada keinginan berbuat maksiat, sebuah ayat Al-Qur’an mengingatkannya, “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.”(QS. Al-Ankabut: 45) Lalu dia menyadari akibat yang akan ditimbulkannya bila dia melakukan kemaksiatan itu. Kemudian dia menjauhi kemaksiatan itu.

Atau ketika hati sedang gelisah, kita teringat dengan ayat, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Maka, kita pun mulai mengingat Allah.

Atau ketika mulai timbul malas dalam belajar, kita diingatkan oleh kisah tentang Thalut, “Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 247) Ternyata untuk menjadi seorang pemimpin harus rajin belajar dan berolahraga.

Dan seterusnya. Ayat-ayat Allah datang mengingatkan kita. Begitupun bila kita malas beramal saleh, maka Allah memberikan kabar gembira kepada kita dengan surga dan kenikmatan-kenikmatan lainnya apabila kita rajin beramal. Kemudian tumbuhlah semangat kita dalam beramal. Imam Syafi’i pernah berkata, “Ilmu mendorong kita beramal.”

Rasulullah Saw. bersabda, “Didiklah anak-anakmu dengan tiga hal: mencintai Nabimu, mencintai keluarganya dan membaca Al-Qur’an. Sebab, orang-orang yang ahli Al-Qur’an itu berada dalam lindungan singgasana Allah pada hari tidak ada perlindungan selain daripada perlindungan-Nya beserta para Nabi dan orang-orang yang disucikan-Nya.” (HR. Thabrani)

Dr. Abdullah Nashih Ulwan menjelaskan kandungan hadits ini dalam buku Tarbiyatul Aulad fil Islam jilid 1, “Rahasianya adalah agar anak-anak mampu meneladani perjalanan hidup orang-orang terdahulu, baik mengenai gerakan, kepahlawanan maupun jihad mereka; agar mereka juga memiliki keterkaitan sejarah, baik perasaan maupun kejayaannya; dan juga agar mereka terikat dengan Al-Qur’an baik semangat, metode maupun bacaannya.”

Salah seorang sahabat Nabi yang bernama Sa’ad bin Abi Waqqash juga berkata, “Kami mengajar anak-anak kami tentang peperangan Rasulullah Saw. sebagaimana kami mengajarkan surah Al-Qur’an kepada mereka.”

Filsuf muslim kenamaan, Imam Al-Ghazali di dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin, memberikan wasiat sebagai berikut, “Dengan mengajarkan Al-Qur’an Al-Karim kepada anak-anak, hadits-hadits, hikayat orang-orang baik, kemudian beberapa hukum agama.”

Sejarawan terkemuka, Imam Ibnu Khaldun, di dalam Muqadimah-nya, mengisyaratkan akan pentingnya mengajarkan dan menghafalkan Al-Qur’an kepada anak-anak. Ia juga menjelaskan bahwa pengajaran Al-Qur’an merupakan dasar bagi seluruh kurikulum sekolah di berbagai dunia Islam. Sebab, Al-Qur’an merupakan salah satu syiar agama yang dapat menguatkan akidah dan keimanan.

Ahli kedokteran muslim terkemuka, Ibnu Sina, dalam buku As-Siyasah memberikan nasihat agar seorang anak sejak kecil sudah mulai diajari Al-Qur’an. Hal ini dimaksudkan agar ia mampu menyerap bahasa Al-Qur’an serta tertanam dalam hati mereka ajaran-ajaran tentang keimanan.

Lihatlah, mereka merasa bangga anak-anak mereka mampu menguasai Al-Qur’an dan Al-Hadits. Tapi, sekarang, banyak orangtua yang merasa malu bila anak-anak mereka lebih memilih belajar ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits di Pesantren atau sekolah-sekolah Islam.

Tidaklah mengherankan bila generasi Islam saat ini selain tidak mengenal agamanya, tidak pula meraih kemajuan dan kejayaan yang mereka impi-impikan. Sedangkan generasi di masa keemasan Islam, mereka dapat meraih kemajuan baik di bidang duniawi maupun ukhrowi. Karena mereka dekat dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Orangtua di masa itu mengantarkan anak-anaknya untuk mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Setelah basic mereka cukup kuat dan kemampuan dasar mereka terpenuhi, para orangtua itu membebaskan anak-anaknya untuk mempelajari ilmu pengetahuan lainnya yang bermanfaat. Justru dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah itu semakin mendorong mereka untuk lebih tekun mempelajari ilmu pengetahuan. Tidaklah mengherankan bila banyak kita temukan para ilmuwan muslim menguasai beragam ilmu pengetahuan mulai dari ilmu agama, ilmu sastra, ilmu sosial hingga eksak.

Oleh karena itu, masa keemasan Islam tidak bisa dilepaskan dari pendidikan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaimana hasil penelitian Dr. Osman Bakar — filsuf dan ilmuwan Malaysia — dalam bukunya yang berjudul Tauhid dan Sains, ” Tak diragukan bahwa, secara relijius dan historis, asal-usul dan perkembangan semangat ilmiah dalam Islam berbeda dari asal-usul dan perkembangan hal yang sama di Barat. Tak ada yang lebih baik dalam mengilustrasikan sumber relijius semangat ilmiah dalam Islamini daripada fakta bahwa semangat ini pertama kali terlihat dalam ilmu-ilmu agama.“ (Chandra Kurniawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar